Wednesday, June 3, 2015

Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal dengan Excel (Akuntansi Pajak)

Dalam melakukan perhitungan laporan keuangan berdasarkan perpajakan dibutuhkan pengetahuan mengenai Akuntansi pajak. Adapun laporan keuangan komersial tidak dapat langsung disesuaikan dengan laporan fiskal (pajak), dimana seorang akuntan pajak harus melakukan koreksi fiscal untuk kemudian memperoleh besarnya laba fiskal yang nantinya dikenakan beban pajak.

Sebelum melakukan rekonsiliasi fiskal, maka perlu dipersiapkan format kertas kerjanya. Kertas kerja rekonsiliasi berbentuk kolom-kolom yang memandu proses pengurangan dan penambahan sesuai koreksi yang diperlukan.

Tabel Rekonsiliasi Fiskal:
Yang dimaksud dengan koreksi fiskal adalah dilihat dari sudut pandang pihak pajak (pemerintahan), bukan kacamata pengusaha (wajib pajak). Pada koreksi fiskal ini terbagi menjadi dua yaitu:
-    Koreksi Fiskal Positif, yaitu segala sesuatu yang atas koreksi tersebut mengakibatkan Penghasilan/ Laba Kena Pajak meningkat sehingga Pajak Terutang juga meningkat (Positif di kacamata pihak pajak).
-    Koreksi Fiskal Negatif, yaitu segala sesuatu yang atas koreksi tersebut mengakibatkan Penghasilan/ Laba Kena Pajak menurun sehingga Pajak Terutang juga menurun (Negatif di kacamata pihak pajak).

Contoh Kasus Penghitungan Laba Fiskal:
PT. Makin Maju Tbk yang berdiri 1 Maret 2005 berusaha di bidang pertenunan.
Berikut ini laporan laba-rugi perusahaan (komersial) yang berakhir per 31 Desember 2014:



Diminta:
1. Buatlah laporan rekonsiliasi fiskal, dan hitunglah PPh yang masih harus dibayar. (Berdasarkan analisis Informasi Tambahan)
2.   Buatlah kertas kerja koreksi untuk menghitung laba-rugi fiskal PT. Maju Jaya Tbk per 31 Desember 2014.
3.   Tentukan besarnya PPh yang terutang dan PPh yang masih harus dibayar oleh PT. Maju Jaya Tbk untuk masa pajak 2014.

Informasi Tambahan dari Perusahaan:
1.  Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp 120 juta termasuk juga pengeluaran pribadi direktur utama sebesar Rp 150.000 sebulan untuk biaya supir dan iuran asuransi kecelakaan dan kematian karyawan Rp 10.000.000 dan beras yang dibagikan kepada karyawan Rp 2.000.000.
Analisis:
>> Karena Rp 150.000 merupakan pengeluaran pribadi maka tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan, sehingga dalam 1 tahun = Rp 150.000 x 12 bulan = Rp1.800.000,-
>> Demikian juga asuransi kecelakaan dan kematian karyawan yang dibayar oleh karyawan Rp 10.000.000,- juga tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan.
>> Adapun beras yang dibagikan kepada karyawan sebesar Rp 2.000.000,- termasuk natura sehingga tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan.
Total koreksi fiskal positif karena mengakibatkan laba kena pajak meningkat adalah sebesar Rp 13.800.000,-.

2.   Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 50.000.000 dari nilai yang dilaporkan dalam laporan laba rugi.
Analisis:
>> Stock opname merupakan cara penghitungan persediaan akhir secara fisik atau secara langsung. Nilai persediaan akhir ini berpengaruh pada nilai harga pokok penjualan. Jika hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 50.000.000 dari nilai yang dilaporkan dalam laporan laba rugi, maka nilai persediaan akhir tersebut perlu dikoreksi agar sesuai dengan nilai persediaan akhir sesungguhnya. Akibatnya HPP juga perlu dikoreksi, dimana jika persediaan akhir naik maka HPP akan turun. Turunnya HPP ini akan berakibat naiknya laba kotor atau laba kena pajak. Maka koreksi sebesar Rp 50.000.000,- ini disebut koreksi fiskal positif.

3.  Harga perolehan mesin adalah Rp 50.000.000 dan disusutkan setahun 20% (metode saldo menurun), mesin tersebut memiliki masa manfaat 4 tahun.
Analisis:
>> Penyusutan merupakan cara perhitugnan manfaat ekonomis dinikmati atau terpakai selama satu tahun. Nilai penyusutan ini akan mempengaruhi nilai ekonomis dari mesin tersebut. Peraturan perpajakan menetapkan bahwa tarif penyusutan untuk harta tetap yang disusutkan dengan metode saldo menurun adalah sebesar 50% dari harga perolehannya. Dengan demikian, wajib pajak dalam melakukan penyusutan harta tetapnya kurang 30%, sehingga penyusutan mesin ini perlu ditambah atau dikoreksi 30% x Rp 50.000.000 = Rp 15.000.000. Karena adanya penambahan biaya penyusutan maka akan menjadikan turunnya laba kena pajak, maka koreksi fiskalnya disebut koreksi fiskal negatif.

4.  Gedung dengan harga perolehan Rp 250.000.000 disusutkan sebesar 10% (metode garis lurus).
Analisis:
>> Peraturan perpajakan mengklasifikasikan bangunan menjadi bangunan permanen dan bangunan tidak permanen. Besarnya tarif penyusutan untuk bangunan permanen sebesar 5% dan bangunan tidak permanen sebesar 10% dari harga perolehan. Karena gedung merupakan bangunan permanen, maka biaya penyusutan perlu dikoreksi atau diturunkan 5% x Rp 250.000.000 = Rp 12.500.000. Turunnya biaya penyusutan mengakibatkan naiknya laba kotor atau laba kena pajak. Maka koreksi ini disebut koreksi fiskal positif.

5.   Tanah disusutkan 2% setahun (metode garis lurus).
Analisis:
>> Tanah, dalam UU Perpajakan tidak boleh disusutkan, kecuali tanah yang digunakan produksi, misalnya untuk pembuatan batu bata, genting, gerabah dan sejenisnya. Tidak berlaku jika tanah yang digunakan untuk memproduksi batu bata, genting dan sejenisnya tersebut dari hasil membeli. Dengan demikian, penyusutan atas tanah ini harus dikoreksi atau dikeluarkan dari biaya penyusutan. Akibatnya laba kena pajak akan naik sebesar penghapusan biaya penyusutan tanah sebesar Rp 2.000.000. Koreksi ini dinamakan koreksi fiskal positif.

6.  Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata telah meninggalkan Indonesia untuk selamanya tanpa diketahui alamatnya.
Analisis:
>> Metode penghapusan piutang dalam akuntansi ada 2 yaitu metode tidak langsung (indirect) dan metode langsung (direct). Metode indirect, penghapusan piutang menggunakan cara taksiran terhadap piutang yang telah melebihi waktu tagihannya. Semakin lama umur tagihan piutang maka semakin kecil tingkat tertagihnya. Piutang tersebut dianggap sebagai kerugian piutang, sehingga cara ini dikenal sebagai metode Cadangan Kerugian Piutang. Adapun metode direct, penghapusan piutang jika benar-benar tidak dapat tertagih secara riil, tidak berdasarkan taksiran. UU Perpajakan menggunakan metode langsung ini untuk menghapuskan piutang tidak tertagih. Pada kasus ini, piutang ragu-ragu dapat diklasifikasikan sebagai piutang yang tidak dapat tertagih secara riil, sehingga telah sesuai dengan aturan perpajakan dan dapat diperlakukan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung laba kena pajak. Dengan demikian tidak terjadi koreksi fiskal atas hal ini.

7.   Cadangan umum adalah penyisihan laba untuk tujuan umum (merupakan pembentukan cadangan).
Analisis:
>> Segala macam dan jenis pembentukan cadangan tidak diperkenankan dalam perpajakan, maka cadangan umum ini harus dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur pengurang penghasilan. Karena cadangan umum sifatnya mengurangi laba kena pajak, maka koreksi ini mengakibatkan laba bertambah sebesar Rp 20.000.000, sehingga dinamakan koreksi fiskal positif.

Informasi yang diperoleh dari Laporan Laba-Rugi:
1.    Sumbangan korban banjir.
Analisis:
>> Segala macam dan jenis sumbangan tidak diperkenankan dalam perpajakan kecuali sumbangan yang diatur secara resmi oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah, misalnya sumbangan GNOT, PMI dan sejenisnya. Sumbangan korban banjir ini tidak dapat dikategorikan dalam jenis pengurang penghasilan, maka atas koreksi ini mengakibatkan laba kena pajak bertambah sebesar Rp 100.000,- yang dinamakan koreksi fiskal positif.

2.    Dividen yang dibayar.
Analisis:
>> Segala macam pembayaran dividen dalam perpajakan tidak diperkenankan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung laba kena pajak, sehingga perlu dilakukan koreksi yang mengakibatkan laba kena pajak naik sebesar Rp 30.000.000,-. Maka koreksi ini dinamakan koreksi fiksal positif.

3.    PPh Pasal 25 yang dibayar.
Analisis:
>> Segala macam dan jenis pajak penghasilan serta sanksi perpajakan tidak diperkenankan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung laba kena pajak. Maka adanya koreksi yang mengakibatkan laba kena pajak bertambah sebesar Rp 4.600.000,- yang dinamakan koreksi fiskal positif.

Dari analisis yang telah dilakukan, maka Tabel Rekonsiliasi Fiskal dapat dilengkapi dan diperhitungkan sesuai print screen berikut:
- Untuk kolom Laporan Keuangan Komersial, diperoleh dari Laporan Laba-Rugi Perusahaan.
-   Untuk kolom Koreksi Fiskal Positif, diperoleh dari analisis informasi keuangan perusahaan yang sifatnya menambah Laba/ menambah jumlah pajak yang harus dibayar.
- Untuk kolom Koreksi Fiskal Negatif, diperoleh dari analisis informasi keuangan perusahaan yang sifatnya mengurangi Laba/ mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
-  Untuk kolom Laporan Keuangan Fiskal, merupakan hasil Laporan Keuangan Komersial (+) Koreksi Fiskal Positif (-) Koreksi Fiskal Negatif.
- Untuk kolom Laba Kotor, merupakan perhitungan Penjualan (-) HPP (Harga Pokok Penjualan).
-  Untuk kolom Total Biaya Usaha, merupakan penjumlahan seluruh biaya usaha (poin 4 s/d poin 14).
- Untuk kolom Laba Sebelum Pajak, merupakan perhitungan Laba Kotor (-) Total Biaya Usaha.


Dari hasil perhitungan PPh 29, maka PPh 29 terutang adalah sebesar 25% x Rp 220.400.000 = Rp 55.100.000,- dikurangi dengan PPh 25 yang sudah dibayar sebesar Rp 4.600.000,-. Oleh karena itu, PPh 29 yang kurang bayar adalah sebesar Rp 50.500.000,-.


Demikian pembahasan Excel untuk Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal sesuai Akuntansi Pajak. Semoga Bermanfaat :)

Selanjutnya, kita akan membahas mengenai Tips dan Menu Excel 2010. (Will be posted soon..)

PS: Please leave comment if you like this post :)

Referensi: Wind, Ajeng dan Faiz Rosida, 2013. Excel Akuntansi Pajak untuk Pemula dan Orang Awam, Penerbit Laskar Aksara, Jakarta.

3 comments:

Ayo berikan komentar Anda..