Dalam melakukan perhitungan
laporan keuangan berdasarkan perpajakan dibutuhkan pengetahuan mengenai
Akuntansi pajak. Adapun laporan keuangan komersial tidak dapat langsung
disesuaikan dengan laporan fiskal (pajak), dimana seorang akuntan pajak harus
melakukan koreksi fiscal untuk kemudian memperoleh besarnya laba fiskal yang
nantinya dikenakan beban pajak.
Sebelum melakukan rekonsiliasi
fiskal, maka perlu dipersiapkan format kertas kerjanya. Kertas kerja rekonsiliasi
berbentuk kolom-kolom yang memandu proses pengurangan dan penambahan sesuai
koreksi yang diperlukan.
Tabel Rekonsiliasi Fiskal:
Yang dimaksud dengan koreksi
fiskal adalah dilihat dari sudut pandang pihak pajak (pemerintahan), bukan
kacamata pengusaha (wajib pajak). Pada koreksi fiskal ini terbagi menjadi dua
yaitu:
- Koreksi Fiskal Positif, yaitu segala sesuatu
yang atas koreksi tersebut mengakibatkan Penghasilan/ Laba Kena Pajak meningkat
sehingga Pajak Terutang juga meningkat (Positif di kacamata pihak pajak).
- Koreksi Fiskal Negatif, yaitu segala sesuatu
yang atas koreksi tersebut mengakibatkan Penghasilan/ Laba Kena Pajak menurun
sehingga Pajak Terutang juga menurun (Negatif di kacamata pihak pajak).
Contoh Kasus Penghitungan Laba Fiskal:
PT. Makin Maju Tbk yang berdiri 1
Maret 2005 berusaha di bidang pertenunan.
Berikut ini laporan laba-rugi perusahaan
(komersial) yang berakhir per 31 Desember 2014:
Diminta:
1. Buatlah laporan rekonsiliasi fiskal, dan
hitunglah PPh yang masih harus dibayar. (Berdasarkan analisis Informasi
Tambahan)
2. Buatlah kertas kerja koreksi untuk menghitung
laba-rugi fiskal PT. Maju Jaya Tbk per 31 Desember 2014.
3. Tentukan besarnya PPh yang terutang dan PPh yang
masih harus dibayar oleh PT. Maju Jaya Tbk untuk masa pajak 2014.
Informasi Tambahan dari Perusahaan:
1. Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp 120 juta
termasuk juga pengeluaran pribadi direktur utama sebesar Rp 150.000 sebulan
untuk biaya supir dan iuran asuransi kecelakaan dan kematian karyawan Rp
10.000.000 dan beras yang dibagikan kepada karyawan Rp 2.000.000.
Analisis:
>> Karena Rp 150.000
merupakan pengeluaran pribadi maka tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan
bruto perusahaan, sehingga dalam 1 tahun = Rp 150.000 x 12 bulan =
Rp1.800.000,-
>> Demikian juga
asuransi kecelakaan dan kematian karyawan yang dibayar oleh karyawan Rp
10.000.000,- juga tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan.
>> Adapun beras yang
dibagikan kepada karyawan sebesar Rp 2.000.000,- termasuk natura sehingga tidak boleh
dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan.
Total koreksi fiskal positif karena mengakibatkan laba kena pajak
meningkat adalah sebesar Rp 13.800.000,-.
2. Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan
akhir lebih tinggi Rp 50.000.000 dari nilai yang dilaporkan dalam laporan laba
rugi.
Analisis:
>> Stock opname
merupakan cara penghitungan persediaan akhir secara fisik atau secara langsung.
Nilai persediaan akhir ini berpengaruh pada nilai harga pokok penjualan. Jika
hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 50.000.000
dari nilai yang dilaporkan dalam laporan laba rugi, maka nilai persediaan akhir
tersebut perlu dikoreksi agar sesuai dengan nilai persediaan akhir
sesungguhnya. Akibatnya HPP juga perlu dikoreksi, dimana jika persediaan akhir
naik maka HPP akan turun. Turunnya HPP ini akan berakibat naiknya laba kotor
atau laba kena pajak. Maka koreksi sebesar Rp
50.000.000,- ini disebut koreksi
fiskal positif.
3. Harga perolehan mesin adalah Rp 50.000.000 dan
disusutkan setahun 20% (metode saldo menurun), mesin tersebut memiliki masa
manfaat 4 tahun.
Analisis:
>> Penyusutan
merupakan cara perhitugnan manfaat ekonomis dinikmati atau terpakai selama satu
tahun. Nilai penyusutan ini akan mempengaruhi nilai ekonomis dari mesin
tersebut. Peraturan perpajakan menetapkan bahwa tarif penyusutan untuk harta
tetap yang disusutkan dengan metode saldo menurun adalah sebesar 50% dari harga
perolehannya. Dengan demikian, wajib pajak dalam melakukan penyusutan harta
tetapnya kurang 30%, sehingga penyusutan mesin ini perlu ditambah atau
dikoreksi 30% x Rp 50.000.000 = Rp
15.000.000. Karena adanya penambahan biaya penyusutan maka akan menjadikan
turunnya laba kena pajak, maka koreksi fiskalnya disebut koreksi fiskal negatif.
4. Gedung dengan harga perolehan Rp 250.000.000
disusutkan sebesar 10% (metode garis lurus).
Analisis:
>> Peraturan
perpajakan mengklasifikasikan bangunan menjadi bangunan permanen dan bangunan
tidak permanen. Besarnya tarif penyusutan untuk bangunan permanen sebesar 5%
dan bangunan tidak permanen sebesar 10% dari harga perolehan. Karena gedung
merupakan bangunan permanen, maka biaya penyusutan perlu dikoreksi atau
diturunkan 5% x Rp 250.000.000 = Rp
12.500.000. Turunnya biaya penyusutan mengakibatkan naiknya laba kotor atau
laba kena pajak. Maka koreksi ini disebut koreksi
fiskal positif.
5. Tanah disusutkan 2% setahun (metode garis
lurus).
Analisis:
>> Tanah, dalam UU
Perpajakan tidak boleh disusutkan, kecuali tanah yang digunakan produksi,
misalnya untuk pembuatan batu bata, genting, gerabah dan sejenisnya. Tidak
berlaku jika tanah yang digunakan untuk memproduksi batu bata, genting dan
sejenisnya tersebut dari hasil membeli. Dengan demikian, penyusutan atas tanah
ini harus dikoreksi atau dikeluarkan dari biaya penyusutan. Akibatnya laba kena
pajak akan naik sebesar penghapusan biaya penyusutan tanah sebesar Rp 2.000.000. Koreksi ini dinamakan koreksi fiskal positif.
6. Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang
bersangkutan ternyata telah meninggalkan Indonesia untuk selamanya tanpa
diketahui alamatnya.
Analisis:
>> Metode
penghapusan piutang dalam akuntansi ada 2 yaitu metode tidak langsung
(indirect) dan metode langsung (direct). Metode indirect, penghapusan piutang
menggunakan cara taksiran terhadap piutang yang telah melebihi waktu
tagihannya. Semakin lama umur tagihan piutang maka semakin kecil tingkat
tertagihnya. Piutang tersebut dianggap sebagai kerugian piutang, sehingga cara
ini dikenal sebagai metode Cadangan Kerugian Piutang. Adapun metode direct,
penghapusan piutang jika benar-benar tidak dapat tertagih secara riil, tidak
berdasarkan taksiran. UU Perpajakan menggunakan metode langsung ini untuk
menghapuskan piutang tidak tertagih. Pada kasus ini, piutang ragu-ragu dapat
diklasifikasikan sebagai piutang yang tidak dapat tertagih secara riil,
sehingga telah sesuai dengan aturan perpajakan dan dapat diperlakukan sebagai
pengurang penghasilan dalam menghitung laba kena pajak. Dengan demikian tidak terjadi koreksi fiskal atas hal
ini.
7. Cadangan umum adalah penyisihan laba untuk
tujuan umum (merupakan pembentukan cadangan).
Analisis:
>> Segala macam dan jenis
pembentukan cadangan tidak diperkenankan dalam perpajakan, maka cadangan umum
ini harus dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur pengurang penghasilan. Karena
cadangan umum sifatnya mengurangi laba kena pajak, maka koreksi ini
mengakibatkan laba bertambah sebesar Rp
20.000.000, sehingga dinamakan koreksi
fiskal positif.
Informasi yang diperoleh dari Laporan Laba-Rugi:
1. Sumbangan korban banjir.
Analisis:
>> Segala macam dan
jenis sumbangan tidak diperkenankan dalam perpajakan kecuali sumbangan yang
diatur secara resmi oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah, misalnya
sumbangan GNOT, PMI dan sejenisnya. Sumbangan korban banjir ini tidak dapat
dikategorikan dalam jenis pengurang penghasilan, maka atas koreksi ini
mengakibatkan laba kena pajak bertambah sebesar Rp 100.000,- yang dinamakan koreksi
fiskal positif.
2. Dividen yang dibayar.
Analisis:
>> Segala macam
pembayaran dividen dalam perpajakan tidak diperkenankan mengurangi penghasilan
bruto dalam menghitung laba kena pajak, sehingga perlu dilakukan koreksi yang
mengakibatkan laba kena pajak naik sebesar Rp
30.000.000,-. Maka koreksi ini dinamakan koreksi
fiksal positif.
3. PPh Pasal 25 yang dibayar.
Analisis:
>> Segala macam dan
jenis pajak penghasilan serta sanksi perpajakan tidak diperkenankan mengurangi penghasilan
bruto dalam menghitung laba kena pajak. Maka adanya koreksi yang mengakibatkan
laba kena pajak bertambah sebesar Rp
4.600.000,- yang dinamakan koreksi
fiskal positif.
Dari analisis yang telah dilakukan, maka Tabel Rekonsiliasi
Fiskal dapat dilengkapi dan diperhitungkan sesuai print screen berikut:
- Untuk kolom Laporan Keuangan Komersial,
diperoleh dari Laporan Laba-Rugi Perusahaan.
- Untuk kolom Koreksi Fiskal Positif, diperoleh
dari analisis informasi keuangan perusahaan yang sifatnya menambah Laba/
menambah jumlah pajak yang harus dibayar.
- Untuk kolom Koreksi Fiskal Negatif, diperoleh
dari analisis informasi keuangan perusahaan yang sifatnya mengurangi Laba/
mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
- Untuk kolom Laporan Keuangan Fiskal, merupakan
hasil Laporan Keuangan Komersial (+) Koreksi Fiskal Positif (-) Koreksi Fiskal
Negatif.
- Untuk kolom Laba Kotor, merupakan perhitungan
Penjualan (-) HPP (Harga Pokok Penjualan).
- Untuk kolom Total Biaya Usaha, merupakan
penjumlahan seluruh biaya usaha (poin 4 s/d poin 14).
- Untuk kolom Laba Sebelum Pajak, merupakan
perhitungan Laba Kotor (-) Total Biaya Usaha.
Dari hasil perhitungan PPh 29, maka PPh 29 terutang adalah sebesar 25% x Rp 220.400.000 = Rp 55.100.000,- dikurangi dengan PPh 25 yang sudah dibayar sebesar Rp 4.600.000,-. Oleh karena itu, PPh 29 yang kurang bayar adalah sebesar Rp 50.500.000,-.
Demikian
pembahasan Excel untuk Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal sesuai Akuntansi Pajak.
Semoga Bermanfaat :)
Selanjutnya, kita akan membahas mengenai Tips dan Menu Excel 2010. (Will be posted soon..)
PS: Please leave comment if you like this post :)
Referensi: Wind, Ajeng dan Faiz Rosida, 2013. Excel Akuntansi Pajak untuk Pemula dan Orang Awam, Penerbit Laskar Aksara, Jakarta.
Sangat membantu, terima kasih :)
ReplyDeleteTerima kasih min, sangat membantu :D
ReplyDeleteNice info bro, boleh liat artikel saya juga ya PENGERTIAN KOREKSI FISKAL
ReplyDelete